Pengungsi Maybrat Papua Telantar, Tuntut 3 Hal Ini ke Pemerintah

JAKARTA,METRONEWSTV.COM Pemekaran wilayah Provinsi Papua Barat terbukti berdampak pada situasi keamanan masyarakat. Pemekaran tersebut menghadirkan semakin banyak pula pemekaran institusi TNI-Polri hingga ke kampung-kampung dalam bentuk Kodam, Kodim, Polres, Koramil, Polsek, dan Babinsa, serta satuan-satuan non-organik lainnya.

Selama beberapa bulan terakhir, kontak bersenjata antara TNI dan TPNPB menyebabkan ratusan warga yang berdomisili di puluhan kampung di enam distrik di Kabupaten Maybrat, Papua Barat, mengungsi ke hutan-hutan dan kampung-kampung di distrik lainnya, bahkan sampai ke Sorong.kata Lambertus, kepada wartawan,(16/8/2022)

Hingga saat ini, para pengungsi yang berada di dua wilayah tersebut mengalami kelangkaan bahan makanan, obat-obatan, serta hidup dalam ketakutan dan trauma mendalam.

Tak sedikit mereka mengalami kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), baik di bidang hak sipil politik, maupun di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya.

Koalisi Peduli Kemanusiaan yang berpusat di Kantor Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Ordo Santo Augustinus “Christus Totus” Papua yang berkedudukan di Sorong, Papua Barat, menyampaikan laporan tentang buruknya situasi HAM yang menonjol dalam satu tahun terakhir di Sorong, Maybrat dan sekitarnya.

2. Pengungsi anak-anak dan lansia mengalami gangguan kesehatan
Ketiadaan pangan dan obat-obatan, sarana medis yang tidak bisa dijangkau pengungsi, menyebabkan sejumlah pengungsi mengalami gangguan kesehatan, di antaranya anak-anak yang menunjukkan gejala kurang gizi seperti perut membesar, badan kurus, kulit kusam, rambut menguning dan menderita gangguan pernapasan akut berkepanjangan.

Beberapa ibu hamil dan para lansia yang mengungsi dalam satu tahun terakhir, juga menderita berbagai gejala penyakit yang tidak bisa ditangani segera karena ketiadaan petugas medis terdekat.

Keadaan tersebut menyebabkan beberapa pengungsi meninggal dunia di tempat pengungsian, baik anak-anak maupun orang dewasa.

"Biaya kesehatan kan besar, kondisi kami sangat menderita sekali, kami merasa kami dibiarkan, dari pemerintah Maybrat sendiri dan dari negara ini membiarkan kami untuk hancur begitu," ucap Lamberti.

3. Pengungsian dan pendidikan anak-anak usia sekolah terbengkalai

Masalah lain yang dialami pengungsi adalah terbengkalainya pendidikan anak-anak. Terdapat sekitar 342 anak usia sekolah dasar (SD) dari sekitar 13 sekolah di wilayah Ayfat Timur dan Ayfat Selatan, Kabupaten Maybrat terpaksa meninggalkan sekolah dan ikut mengungsi bersama orang tua mereka.

Yayasan persekolahan katolik milik Keuskupan Manokwari-Sorong dalam segala kesulitan dan keterbatasannya, berusaha memasukkan anak-anak tersebut untuk melanjutkan pendidikannya di beberapa sekolah yayasan yang terdapat di kampung sekitar yang relatif aman.

Mereka menganggap Pemerintah Daerah Kabupaten Maybrat dan pemerintah pusat mengabaikan masalah ini.

4. Proses penegakan hukum yang diskriminatif dan belum pulang ke kampung sejak setahun yang lalu

Pasukan TNI Angkatan Darat (AD) berpatroli di perkampungan di distrik Aifat Timur, Kabupaten Maybrat, Papua Barat pada 8 September 2021 (Dokumentasi TNI AD)

Konflik Maybrat menyebabkan sejumlah orang, khususnya remaja, bahkan anak di bawah umur ditangkap dan ditahan sewenang-wenang di Sorong, Sorong Selatan hingga ditahan di Makassar, Sulawesi Selatan.

Di antaranya, terdapat enam anak-anak berusia belasan tahun yang dipidana penjara paling tinggi 10 sampai 18 tahun. Di satu sisi, aparat keamanan menutup akses bagi adanya bantuan hukum yang adil dan dukungan kemanusiaan bagi mereka yang sedang dihadapkan dengan proses hukum ini.

Lamberti mengaku dirinya tak berani pulang ke kampung karena masalah keamanan. Ia merasa tak aman dan terganggu dengan kehadiran TNI Polri.

"Lihat tentara, mobil polisi saja kita takut. Kita secara psikologis kami takut sekali, sangat mengganggu sekali untuk kami mau hidup normal seperti dulu. Jangan kan tentara, mobil lewat pun kami takut, orang pasti panik dan takut," kata dia.

Post a Comment

Previous Post Next Post